ASHABUL
KAHFI (PENGHUNI GOA)
(Seri
Kecerdasan Ali bin Abi Thalib)
Dari
Imam Ali ra yang menceritakan Ashabul Kahfi kepada seorang Yahudi yang ingin
menguji kecerdasan Imam Ali ra. Apabila Imam Ali ra tidak bisa menceritakan dan
menjawab pertanyaannya, maka ia tidak mau memeluk ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad saw.
Tiga
orang pendeta Yahudi datang menemui Imam Ali ra, mereka ingin menguji kebenaran
agama Islam.
Salah
seorang berkata, “Wahai Ali, ada satu masalah yang ingin kutanyakan kepadamu.”
Imam Ali
ra pun berkata, “Bertanyalah sesukamu!”
Pendeta
Yahudi tadi berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sekelompok remaja pada zaman
dahulu. Yang mana mereka mati selama tiga ratus sembilan tahun, lalu Allah
hidupkan kembali. Bagaimana kisah mereka itu?”
Imam Ali
ra tersenyum dan mulai menceritakan keinginan dari pendeta Yahudi tersebut,
“Wahai Yahudi, mereka adalah penghuni gua (Ashabul Kahfi). Allah telah
menurunkan atas Nabi kami, Muhammad saw, al-Quran yang memuat kisah mereka.
Kalau engkau mau, akan kami bacakan kisah mereka di hadapanmu.”
Orang
Yahudi berkata, “Betapa sering aku mendengar bacaan al-Quran. Kalau engkau
memang tahu, katakan kepadaku nama-nama mereka, nama raja, nama anjing, nama
gunung, nama gua dan kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Lalu
Imam Ali ra duduk sambil mengangkat kedua lututnya dengan melilitkan sorban
pada kedua lututnya, dengan sorban Rasulullah saw, seraya berkata, “Wahai
saudara bangsa Arab, kekasihku Muhammad saw pernah bercerita kepadaku bahwa di
daerah Romawi terdapat sebuah kota bernama Afsus dan juga dinamakan Thurthus.
Nama kota itu di zaman jahiliyah adalah Afsus, lalu ketika Islam datang
dinamakan Thurthus. Mereka mempunyai seorang raja yang saleh. Beberapa waktu
kemudian, raja itu wafat, lalu tersebar berita kematiannya hingga seorang raja
dari Persia yang bernama Diqyanus, mendengar berita tersebut. Diqyanus adalah
raja yang sangat zalim dan kafir. Dia datang bersama bala tentara ke kota Afsus
dan menjadikan sebagai kerajaannya, dan membangun sebuah istana megah.”
Yahudi
itu berkata, “Jika anda benar-benar tahu, maka jelaskan kepadaku tentang istana
itu dan ruangan-ruangannya!”
Imam Ali
ra segera menjawab, “Raja itu membangun istana dari marmer, panjangnya satu
farsakh atau sama dengan 5 hingga 6 km, lebarnya satu farsakh. Di dalamnya
terdapat empat ribu pilar dari emas dan seribu lampu emas, lantainya dari suasa
dan setiap malam diisi dengan minyak wangi yang harum. Ia letakkan di tImur,
seratus delapan puluh kekuatan, demikian juga di bagian baratnya. Matahari dari
sejak terbit sampai terbenam mengitari istana. Ia membuat singgasana dari emas
yang panjangnya delapan puluh hasta dan berhiaskan mutiara. Ia letakkan di
sebelah kanan singgasana delapan puluh kursi emas untuk para panglimanya dan di
sebelah kirinya delapan puluh kursi emas juga. Dia duduk di atas singgasananya
sambil mengenakan mahkota di atas kepalanya.”
Yahudi
itu dengan bersemangat berkata melanjutkan, “Wahai Ali, jika engkau sungguh
mengetahui, katakan kepadaku terbuat dari apa mahkotanya?”
Imam Ali
ra menjawab, “Wahai saudara Yahudi, mahkotanya terbuat dari emas cetakan yang
mempunyai sembilan pucuk. Pada setiap pucuk terdapat lampu yang bersinar
laksana lampu yang bersinar di malam yang gelap. Dia memiliki lima puluh remaja
dari anak para panglima. Mereka berpakaian terbuat dari sutera merah dan celana
yang terbuat dari sutera hijau. Mereka memakai mahkota, gelang tangan dan
gelang kaki yang terbuat dari emas berkilauan. Dia juga jadikan enam pemuda
dari kalangan ulam sebagai menteri-menteri. Dia tidak akan menetapkan satu
keputusan tanpa berdiskusi dengan mereka. tiga orang dari mereka berdiri di
sebelah kanan dan tiga orang di sebelah kiri sang raja.”
Yahudi
berkata, “Wahai Ali! Jika Anda benar, beritahu aku siapa nama enam orang itu?”
Imam Ali
ra menjawab, “Kekasihku Muhammad saw bercerita padaku, bahwa tiga orang yang di
sebelah kanan adalah Tamlikho, Muksalmina, dan Muhsalmina. Sedang yang di
sebelah kiri Marthuliyus, Kaythus, dan Sadaniyus. Raja itu senantiasa meminta
pendapat dari mereka dalam segala urusannya. Jika ia duduk di singgasananya
yang mewah setiap hari, orang-orang pun berkumpul di sekitarnya, maka datanglah
tiga pemuda dari sebuah pintu. Di tangan salah seorang dari mereka terdapat
gelas emas yang berisi minyak kesturi (misk). Di tangan pemuda kedua adalah
gelas perak berisi air mawar, serta di tangan pemuda ketiga bertengger seekor
burung yang molek. Jika yang satu berteriak, maka burung itu terbang menuju
gelas yang berisi air mawar, lalu ia mandi dengan air mawar itu. Bulu dan sayapnya
menyerap air mawar yang wangi.
Jika
yang kedua berteriak, maka si burung terbang menuju gelas yang berisi minyak
wangi (misk). Burung kecil itu pun mandi dan menyerap minyak wangi dengan bulu
dan sayapnya. Kemudian jika yang ketiga berteriak, maka burung itu terbang
menuju mahkota raja untuk kemudian mengibaskan bulu dan sayapnya di atas kepala
raja.
Raja itu
memegang kekuasaannya selama tiga puluh tahun tanpa pernah mengalami sakit
kepala, panas, flu, dan sakit lainnya. Melihat keadaan dirinya seperti itu, ia
menjadi congkak dan angkuh, sehingga dia mengakui dirinya sebagai tuhan (Rabb).
Dia mengajak menteri dan rakyatnya untuk menyembah kepada dirinya. Setiap orang
yang menerima pengakuan dirinya sebagai tuhan, akan diberi hadiah dan mendapat
keistimewaan, sedangkan yang enggan untuk menerimanya akan disiksa dan dibunuh.
Akhirnya mereka tunduk kepada keinginan sang raja. Menteri dan penjaga istana
menganggap dia sebagai tuhan selain Allah swt.
Suatu
hari di saat pesta berlangsung, sang raja duduk di atas singgasana sambil
mengenakan mahkota di atas kepalanya. Tiba-tiba muncul beberapa panglima
menyampaikan berita, bahwa pasukan Persia telah siap membunuh raja. Sang raja
amat panik, hingga mahkota yang dikenakannya jatuh dari atas kepala, sedang ia
sendiri terjungkal dari singgasana. Salah seorang dari tiga pemuda yang berada
di samping raja menyaksikan hal tersebut. Dia adalah si cerdik bernama
Tamlikho. Pemuda itu berpikir dan berkata dalam hatinya, “Jika Diqyanus (si
raja itu) adalah tuhan seperti yang ia akui sendiri, pastilah ia tidak akan
sedih, tidak tidur, tidak kencing atau buang air. Karena semua bukan sifat dari
Tuhan.
Setiap
hari enam pemuda tersebut selalu berkumpul di tempat salah seorang dari
mereka. Setelah terjadi peristiwa tadi, mereka tengah berkumpul di tempat
Tamlikho, namun Tamlikho tidak ikut makan dan minum. Mereka bertanya, “Wahai
Tamlikho, mengapa engkau tidak makan dan minum?” Tamlikho menjawab, “Wahai
saudara-saudaraku, telah terjadi sesuatu dalam hatiku, ini yang mencegahku makan,
minum dan tidur.
Mereka
bertanya, “Apa itu wahai Tamlikho?”
Dia
menjawab, “Aku lama sekali berpikir tentang langit. Aku berkata, “Siapa yang
meninggikan langit menjadi atap yang kokoh tanpa ada pengikat di atasnya dan
tanpa tiang penyangga di bawahnya? Siapa yang menjalankan matahari dan bulan?
Siapa yang menghiasi langit dengan bintang gemintang? Lalu aku lama termenung
tentang bumi ini, siapa yangmenjadikannya terapung di alas permukaan laut?
Siapa yang menahan dan mengikatnya dengan gunung-gunung yang kokoh agar tidak
tenggelam?”
Kemudian
aku berpikir tentang diriku. Aku berkata,
“Siapa
yang mengeluarkanku dari rahim ibu? Siapa yang memberiku makan dan
membimbingku? Sungguh ada Pencipta dan Pengatur semua ini selain Diqyanus.”
Lima
pemuda tadi tersungkur ke lantai, mencium kedua kaki Tamlikho dan berkata,
“Wahai Tamlikho, sungguh telah terjadi di hati kami apa yang telah melanda
hatimu. Berilah kami petunjuk!”
Tamlikho
berkata, “Wahai saudara-saudaraku, aku tidak mendapatkan jalan untukku dan untuk
kalian, selain lari dari penguasa zalim menuju Penguasa langit dan bumi.”
Mereka
berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapatmu.”
Tamlikho
bangkit membeli kurma dengan uang tiga dirham, lalu menyimpannya di dalam
selendang. Mereka naik kuda dan pergi ke luar kota. Setelah berjalan sejauh
tiga mil dari kota, Tamlikho berkata, “Saudaraku, telah hilang dari kita raja
dunia dan kekuasaannya. Turunlah dari kuda dan berjalanlah, semoga Allah
memudahkan urusan kalian dan memberikan jalan keluar kepada kita.”
Mereka
pun turun dari kuda dan berjalan kaki sejauh tujuh farsakh, sampai kaki mereka
berdarah kerena tidak terbiasa.
Tiba-tiba
seorang penggembala menghampiri mereka…
Tamlikho
bertanya, “Wahai penggembala, apakah engkau memiliki seteguk air atau susu?”
Aku
punya apa yang kalian inginkan, tetapi aku lihat wajah kalian adalah
wajah-wajah para raja. Menurutku kalian melarikan diri. Ceritakan pengalaman
kalian kepadaku!
Kami
memeluk agama yang melarang berbohong. Apakah kejujuran membuat kami selamat?
Maka mereka
pun menceritakan apa yang mereka alami. Si penggembala langsung tersungkur
mencium kaki mereka sambil berkata, “Sungguh terjadi di hatiku apa yang terjadi
di hati kalian.
Si
penggembala meminta mereka menunggunya. Sementara dia mengembalikan kambing-kambing
kepada pemiliknya.
Mereka
menunggu sampai si penggembala kembali, tapi kali ini dia kembali dengan
diikuti seekor anjing.
Ketika
para pemuda itu melihat anjing, satu sama lain saling berbicara…
Kami
khawatir anjing ini akan membuka rahasia kita dengan gonggongannya.
Mereka
minta dengan sangat agar di penggembala mengusir anjingnya dengan batu.
Anjing
itu berwarna hitam pekat dan namanya Qithmir. Ketika anjing itu melihat gelagat
mereka, anjing itu pun lalu duduk dan dapat berbicara, “Wahai manusia, mengapa
kalian hendak mengusirku, padahal aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang
Maha Esa dan tiada sekutu atas-Nya. Izinkan aku menjaga kalian dari musuh yang
akan mengganggu kalian. Aku ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan hal
itu.” Lalu mereka pun mengijinkannya.
Lalu
mereka pun melanjutkan perjalanan. Sang penggembala mengajak para pemuda itu
untuk menaiki gunung dan bersembunyi di dalam sebuah gua.
Orang
Yahudi berkata, “Wahai Ali, apa nama gunung itu dan apa nama gua itu?”
Amirul
Mukminin menjawab, “Wahai saudara Yahudi, nama gunung itu adalah Najlus dan
nama gua itu adalah Washid atau Khairam.”
Imam Ali
ra melanjutkan ceritanya, “Ternyata di dalam gua itu terdapat beberapa pohon
yang berbuah dan mata air yang bening. Mereka memakan buah-buahan dan meminum
air tersebut. Ketika malam tiba, mereka masuk ke dalam gua sedangkan anjing itu
duduk di pintu gua, sambil menjulurkan kedua kaki depannya. Lalu Allah menyuruh
malaikat maut untuk mencabut ruh mereka sementara waktu, dan menugaskan dua
malaikat lainnya untuk menjaga dan mengurus setiap orang dari mereka. Kedua
malaikat itu membalik-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri dan dari kiri
ke kanan.
Allah
mewahyukan kepada matahari agar pada saat terbit bercondong dari gua mereka ke
sebelah kanan dan ketika terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.
Ketika
raja Diqyanus kembali dari upacara, ia bertanya tentang para pemuda itu. Lalu
dikatakan kepadanya, bahwa mereka telah meyakini Tuhan selain Raja Diqyanus.
Mereka telah keluar dari istana dan melarikan diri darinya. Mendengar hal itu,
maka raja pergi dengan depalan puluh ribu pasukan berkuda untuk mencari sang
pemuda.
Sampailah
sang raja di sebuah gunung dan ia sendiri yang naik ke atas gunung itu,
kemudian mendekati sebuah gua. Raja melihat para pemuda yang dicari tengah
berbaring, dia yakin para pemuda itu tengah tidur.
Raja
berkata kepada anak buahnya, “Kalau aku hendak menyiksa mereka, aku tidak akan
menyiksa lebih dari mereka menyiksa diri mereka sendiri. Datangkanlah para
tukang bangunan!”
Akhirnya
mulut gua ditutup dengan batu-batu dan sang raja berkata, “Katakanlah kepada
mereka agar memohon kepada Tuhan mereka yang berada di langit. Jika benar ada,
maka Tuhan mereka akan mengeluarkan para pemuda itu dari sini.”
Para
pemuda tinggal dan tertidur di dalam gua selam tiga ratus sembilan tahun. Lalu
Allah swt menghidupkan mereka kembali ketika matahari mulai terbit. Satu sama
lain saling berkata, “Sungguh kami telah lalai dari ibadah kepada Allah swt.
Mari kita pergi ke mata air.”
Ternyata
mata air dan pohon-pohon telah kering. Salah seorang berkata, “Sungguh ini
adalah hal yang sangat aneh. Bagaimana mata air seperti ini menjadi kering
hanya dalam tempo satu malam, begitu juga dengan pepohonannya?”
Lalu
Allah membuat mereka merasa lapar. Salah seorang berkata, “Siapa di antara kita
yang bisa pergi membawa uang ke kota, membeli sesuatu untuk kita makan?
Hendaknya
dia teliti jangan sampai makanan itu bercampur dengan lemak babi, seperti
tercantum dalam firman Allah
y7Ï9ºx2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öN2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqt ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt 4 (#qä9$s% öNä3/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYÏyJø9$# öÝàZuù=sù !$pkr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uù=sù 5-øÌÎ/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuø9ur wur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ
19. Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar
mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di
antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka
menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata
(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada
(di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih
baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku
lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Yaitu
makan yang halal dan enak untuk dimakan.”
Tamlikho
berkata, “Wahai saudara-saudaraku, aku saja yang membeli makanan itu. Tetapi,
wahai penggembala, berikan bajumu kepadaku dan kenakan bajuku ini.”
Tamlikho
mengenakan baju si penggembala dan berjalan melalui tempat-tempat yang tidak ia
ketahui. Ternyata di atas pintu gerbang kota berkibar bendera hijau yang
bertuliskan “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa Ruhullah”. Pemuda itu
terpana melihat bendera itu, dan mengusap-usap matanya seraya berkata, “Apakah
aku sedang bermimpi.”
Sesaat
berlalu ia memasuki kota, dan melewati sekelompok orang yang tengah membaca
kitab Injil. Beberapa orang menyapanya hingga ia sampai ke pasar dan menemui
pedangang roti. Ia berkata, “Wahai tukang roti apa nama kota ini?”
“Afsus”
jawab tukang roti ramah.
Ia
bertanya lagi, ”Siapakah rajamu?”
“Abdurrahman”’
jawabnya singkat.
Tamlikho
berkata, “Jika Anda benar, sungguh yang kualami ini sangat aneh. Berikan padaku
makanan seharga uang dirham ini.”
Uang
dirham yang berlaku pada masa Tamlikho berat dan besar, sehingga si tukang roti
terheran-heran melihatnya.
Orang
Yahudi berkata kepada Ali, “Jika kamu benar-benar tahu, katakan padaku berapa
berat dirham itu?”
Imam Ali
ra menjawab, “Wahai saudara Yahudi, kekasihku Muhammad saw memberitahuku, bahwa
berat dirham itu sepuluh kali dari berat dirham saat ini.”
Imam Ali
ra melanjutkan, “Tukang roti berkata kepada Tamlikho, “Wahai pemuda, engkau
telah mendapat harta karun? Berikan sebagian kepadaku, jika tidak Anda akan
kubawa kepada raja.”
Tamlikho
berkata, “Aku tidak mendapatkan harta karun. Dirham ini kuperoleh dari hasil
menjual buah-buahan seharga tiga dirham, tiga hari yang lalu. Aku keluar dari
kota ini, sementara penghuninya sedang menyembah raja Diqyanus.”
Penjual
roti pun marah mendengarnya, “Tidakkah kamu senang mendapat harta karun, lalu
memberikan sebagiannya kepadaku? Mengapa engkau menyebut seorang pengusa zalim
yang mengaku dirinya tuhan? Dia telah mati tiga ratus tahun yang lalu. Anda
telah menghinaku!”
Tukang
roti menangkap Tamlikho, dan orang-orang pun berkumpul. Kemudian ia dibawa
menghadap sang raja yang cerdas dan adil, “Apa yang pemuda ini lakukan?”
Mereka
pun menjawab, “Orang ini telah mendapat harta karun.”
Raja
berkata, “Tenanglah, Nabi kita Isa as membolehkan kita mengambil harta karun,
tidak lebih dari seperlimanya saja. Maka serahkanlah kepadaku seperlima dari
harta karun tersebut, setelah itu kamu dapat pergi dengan selamat.”
Tamlikho
berkata, “Wahai raja, lihatlah masalahku ini. Aku tidak mendapatkan harta
karun. Aku penduduk kota ini.”
“Kamu
penduduk kota ini?” Tanya raja.
“Ya”,
jawabnya.
Raja
bertanya lagi, “Apa kamu kenal seseorang di kota ini?”
“Ya”,
jawabnya Tamlikho. Kemudian ia menyebutkan kira-kira seribu orang. Namun tak
satupun dari mereka yang dikenal oleh mereka yang berkumpul.
Sang
raja berkata, “Hai, kami tidak ernah mengenal nama-nama itu. Mereka bukan
penduduk zaman ini. Apa kamu punya rumah di kota ini?”
Tamlikho
menjawab, “Ya, wahai paduka yang mulia. Utuslah seseorang bersamaku!”
Raja
kemudian mengutus beberapa orang untuk pergi bersamanya. Mereka pergi menuju
sebuah rumah yang berada di dataran tertinggi kota itu. Mereka sampai di satu
rumah dan lalu mengetuknya. Tidak lama kemudian keluarlah seorang tua renta,
kedua alisnya panjang terurai ke bawah menutupi kedua matanya.
Pengawal
berkata, “Pemuda ini mengaku bahwa ini adalah rumahnya.”
Orang
tua itu marah dan menoleh kepada Tamlikho, “Siapa namamu?!”
“Tamlikho
bin Filsin”, jawab Tamlikho.
Ulangi
lagi!
Tamlokho
bin Filsin
Kemudian
orang tua itu tersungkur menciumi tangan dan kaki Tamlikho, “Dia adalah
kekekku. Dia adalah salah seorang pemuda yang lari dari Diqyanus, raja yang
zalim, menuju Raja langit dan bumi. Sungguh Nabi Isa pernah mengatakan, bahwa
mereka akan hidup kembali di dunia ini.”
Berita
tersebut akhirnya sampai ke telinga raja, ia pun segera mendatangi mereka.
Ketika
melihat Tamlikho, raja segera turun dari kuda dan mengangkat Tamlikho ke atas
pundaknya. Orang-orang pun menciumi tangan dan kaki Tamlikho.
Mereka
bertanya, “Hai Tamlikho, apa yang sedang dikerjakan teman-temanmu? Tamlikho
memberitahu bahwa mereka berada di dalam gua. Pada saat itu kota Afsus dikuasai
oleh dua penguasa, penguasa mukmin dan kafir.
Keduanya
lalu berangkat diiringi para pengikutnya. Ketika mereka mendekati gua, Tamlikho
berkata kepada mereka, “Aku khawatir saudara-saudaraku mendengar suara kaki
kuda dan gemerincing senjata, sehingga mereka anggap Diqyanus telah
bersiap menyerang. Mereka akan sangat ketakutan. Oleh karenanya kalian
tinggallah di sini sebentar, biarkan aku masuk ke dalam untuk memberitahu
mereka.
Mereka
pun setuju dan Tamlkho masuk menemui teman-temannya.
Para
pemuda tadi langsung merangkul Tamlikho sambil berkata, “Alhamdulillah.”
Allah swt telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanus!”
Tamlikho
berkata, “Tahukah kalian, berapa lama kita tinggal di tempat ini?”
“Dua
hari satu malam”, jawab mereka.
Tamlikho
berkata lagi, “Tidak, tetapi kalian tinggal di sini, tiga ratus sembilan
tahun!” Diqyanus kini telah mati. Waktu demi waktu telah berlalu dan kini
penduduk kota telah beriman kepada Allah Yang Mahabesar.
Mereka
berkata, “Wahai Tamlikho, kamu ingin kita berbuat fitnah (baca: keributan atau
prahara) kepada orang-orang itu?”
Kata
Tamlikho, “Lalu apa yang kalian inginkan?”
Mereka
berkata, “Angkatlah tanganmu, kami akan mengangkat tangan kami.” Mereka semua
mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, demi kebenaran yang Engkau tampakkan
kepada kami, berupa keanehan dalam diri kami, cabutlah nyawa kami agar tidak
seorang pun mengetahui kami.
Allah
swt mengutus malaikat maut untuk mencabut nyawa mereka. Lalu Allah menutup
pintu gua.
Kedua
raja itu tidak sabar menanti. Mereka segera menyusul Tamlikho karena lama.
Dua
penguasa tadi mengelilingi gua selama tujuh hari tujuh malam, namun tidak
menemukan pintu atau lubang pada gua itu. Mereka berdua yakin bahwa itu adalah
kebesaran ciptaan Allah Yang Mahamulia, dan bahwa keadaan ini merupakan
pelajaran (‘ibrah) penting yang diperlihatkan kepada kita semua.
Penguasa
yang beriman berkata, “Meraka mati atas dasar agamaku dan akan kubangun di atas
pintu gua ini, sebuah mesjid.” Sementara penguasa kafir berkata, “Tidak! Mereka
mati atas dasar agamaku dan akan kubangun tempat peribadatan.”
y7Ï9ºx2ur $tR÷sYôãr& öNÍkön=tã (#þqßJn=÷èuÏ9 cr& yôãur «!$# A,ym ¨br&ur sptã$¡¡9$# w |=÷u !$ygÏù øÎ) tbqããt»oYoKt öNæhuZ÷t/ öNèdtøBr& ( (#qä9$s)sù (#qãZö/$# NÍkön=tã $YZ»u÷Zç/ ( öNßg/§ ãMn=ôãr& óOÎgÎ/ 4 tA$s% úïÏ%©!$# (#qç7n=yñ #n?tã öNÏdÌøBr& cxÏGoYs9 NÍkön=tã #YÉfó¡¨B ÇËÊÈ
21. Dan demikian (pula) kami mempertemukan
(manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu
benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. ketika
orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka[877], orang-orang itu berkata:
"Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih
mengetahui tentang mereka". orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka
berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di
atasnya".
[877] yang mereka perselisihkan itu tentang hari
kiamat: apakah itu akan terjadi atau tidak dan apakah pembangkitan pada hari
kiamat dengan jasad atau roh ataukah dengan roh saja. Maka Allah mempertemukan
mereka dengan pemuda-pemuda dalam cerita Ini untuk menjelaskan bahwa hari
kiamat itu pasti datang dan pembangkitan itu adalah dengan tubuh dan jiwa.
Itulah
kisah mereka, wahai Yahudi.” Lalu Imam Ali ra berkata, “Aku bertanya kepadamu
wahai Yahudi, apakah semua itu sesuai dengan yang ada di dalam Taurat kalian?”
Orang
Yahudi itu berkata, “Anda tidak menambah dan tidak mengurangi satu kata pun
wahai Abul Hasan. Jangan lagi anda panggil aku Yahudi. Aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, Muhammad adalah hamba serta utusan Allah, dan anda adalah orang
yang paling pandai dari umat Muhammad ini.”
Hikmah
yang dapat diambil dari kisah ini adalah Allah swt akan menolong orang-orang
yang berbuat baik dan ingin menghancurkan serta meninggalkan kezaliman.
Allah
swt akan selalu menjaga dan mencintai orang-orang yang beriman kepada-Nya dan
kepada utusan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar