oleh: topik s.pd
I.
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya suri tauladan
bagi umat muslim sampai hari kiamat. Beliau memang diberikan tugas oleh Allah
SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seluruh sunnah beliau merupakan
pedoman dan teladan bagi seluruh manusia. Kita sebagai umatnya wajib meneladani
kehidupan beliau, terutama dari segi akhlaknya. Akan tetapi sebagai manusia
biasa, sering kali kita kesulitan dalam meneladani akhlak dan kepribadian
Rasulullah SAW. Maka dari itu, perlunya pembinaan akhlak yang secara konsisten
dan Istiqomah untuk dilakukan. Dalam mewujudkan pengabdiannya manusia berusaha
untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri
manusia. Adapun cara atau upaya untuk mencapai kepribadian yang bersih dan
berakhlakul karimah bisa dimulai dengan Tarbiyah Zatiyah, Tazkiyatun Nafs, dan
selanjutnya Halaqoh Tarbawiyah. Apabila kesemuanya telah dilaksanakan, maka yang
perlu dilakukan adalah pengistiqomahan diri dan ini disebut juga Manajemen
Akhlak.
Untuk pencapaian akhlakul karimah yang di contohkan
oleh Rasul, serta dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka perlu cara-cara
atau metode yang dilakukan. Minimalnya kita harus melakukan tahapan-tahapan
tersebut, bisa secara bertahap ataupun secara bersamaan.
Namun disini, kami akan menjelaskan mengenai Manajemen
Akhlak atau langkah-langkah pembinaan akhlak yang harus dilakukan supaya
terjadi keseimbangan dan kekonsistenan kepada diri kita, sehingga akhlak yang
dicontohkan oleh Rasul dapat kita teladani dan upaya-upaya kita untuk
mendekatkan diri kepada Allah tercapai.
II.
PEMBAHASAN
Manajemen akhlak merupakan upaya untuk memetakan dan
mengorganisir akhlak kita supaya tetap seimbang, konsisten dan Istiqomah dalam
hal kebaikan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Para ahli perjalanan
kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri kepada Allah melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
a. Musyaratah (Mengikat
diri)
Musyaratah atau Penetapan syarat atau mengikat diri
merupakan langkah awal seseorang dalam setiap melakukan suatu kegitan. Seperti
hal nya orang-orang yang terorganisir dalam kehidupannya, ia akan memplaning
terlebih dahulu apa saja yang akan dilakukan sehingga ia akan mendapatkan
tujuan atau cita-cita yang di inginkan. Dapat analogikan seperti ini. Seorang
mahasiswa apabila ia ingin sukses dalam pembelajaran, maka yang harus
dipersiapkan adalah memplanning strategi belajar serta membuat syarat atau
target untuk mencapai kesuksesan dalam belajar tersebut (Musyaratah). Kemudian
ia juga harus diawasi oleh seseorang yang apabila ia keluar dari planningnya
tersebut orang tersebut mengingatkannya, atau mahasiswa itu sadar bahwasannya
ia akan diawasi (Muraqabah). Setelah itu perlu adanya evaluasi dari hasil
pembelajaran (Muhasabah), apabila tidak mencapai target maka harus diadakan
sebuah sanksi (Mu’aqabah) atau mencela kegagalan yang ia lakukan (Mu’atabah),
sehingga ia akan termotivasi dan ingin terus meningkatkan prestasinya demi
kesuksesan studinya.
Begitu pula dengan dengan akal, untuk dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencvapai kekonsistenan dalam berakhlak
dan beribadah, maka diperlukannya musyaratah (penetapan syarat kepada Jiwa),
lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan kejalan
kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Serta jangan pernah
lupa untuk mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikan niscaya akan
terjadi pengkhiatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus
menghisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan. Jadi yang harus
ditekankan disini adalah musyaratah menjadikan langkah awal dalam upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Tujuan dari musyarath ini adalah untuk mendeskripsikan
tujuan dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka membina akhlak
pribadi
b.
Muraqabah (Mengawasi diri)
Tahap selanjutnya ketika kita telah melakukan
perencanaan diri atau musyaratah, adalah muraqabah. Adapun muraqabah bagi
seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya, bahwa Allah SWT selalu
melihat apa yang ada dalam hati nurani manusia dan Maha mengetahui akan segala
hal.[1]
Sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan bin Ali ad-Damighani – rahimahullah – ,
“Engkau wajib menjaga rahasia-rahasia hatimu, sebab Dia (Allah) selalu melihat
hati nurani”. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat at-Taubah ayat 78.
“Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa Allah
mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasannya Allah Maha
mengetahui segala yang gaib”
orang-orang yang muraqabah ia akan selalu tunduk dan
taat serta sangat berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan tercela.
sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam peribadahannya pun senantiasa khusuk
karena ia selalu mebayangkan bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Sebagaimana
hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah,
“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”(H.r. Muslim).
Adapun tingkatan dari muraqabah ada tiga tingkat, yang
paling dasar adalah Muraqabatul Qalbi, yitu kewaspadaan dan peringatan terhadap
hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah. sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Hasan bin Ali di atas, dimana ia meyakini dan sadar bahwa
Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang ada pada nurari manusia. Tingkatan
yang kedua adalah Muraqabatur-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap
ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. Adapun tingkat
ketiga adalah muraqabatus-Sirri, yaitu tingkatan orang-orang besar mereka
selalu muraqabah kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar dia senantiasa
memlihara mereka untuk selalu ber-muraqabah sehingga
dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah SWT mengistimewakan
orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang khusus dengan tidak menyerahkan
mereka dalam segala kondisi sepiritualnya kepada seorangpun. Dari tahapan ini
lahirlah keyakinan bahwa Allah selalu
bersamanya di manapun dia berada.
c.
Muhasabah (Introspeksi)
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri
dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang
tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di
yaumul akhir.
Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan
selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh
perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan
bermasyarakat (ghairu mahdhah). Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu
mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dengan begitu muhasabah adalah upaya untuk selalu
menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab,
dicatat oleh malaikat sehingga ia pun berusaha aktif dalam menghisab dirinya
terlebih dahulu agar dapat memperbaiki diri[2]. Muhasabah dapat dimulai
dengan bertaubat kepada Allah swt, dan disamping itu dilaksanakan dengan cara
meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya.
Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ;
“Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku
ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan
kembali lagi sampai hari kiamat.”[3]
d.
Muaqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah)dan sibuk
mengevaluasi diri melalui muhasabah, maka diperlukannya Muaqabah atau menghukum
diri atas segala kekurangan yang telah diperbuat. Disini kami mengambil contoh
dari sahabat Umar r.a, beliau terkenal dengan ucapannya yaitu “hisablah dirimu
sendiri sebelum kelak engkau di hisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan
ucapan tersebut, yaitu “Iqablah dirimu sendiri sebelum engkau di-iqab”. Pada
saat itu Sayyidina Umar r.a pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah dimasjid karena sibuk mengawasi kebunnya yang pada saat itu sedang
panen besar. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun
melalaikannya dari segera mengingat kepada Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut kepada para fakir miskin.
Subhanallah…
Akan tetapi, kita harus memahami pemberian sanksi
bukanlah dengan sesuatu yang membuat kerusakan atau menimbulkan kemadharatan
bagi dirinya sendiri, melainkan dengan meningkatkan amal ibadah dan mengekang
diri dari perbuatan syubhat dan munkar.
e. Mujahadah
(Bersungguh-sungguh)
Arti mujahadah menurut bahasa adalah
perang, sedangkan menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh
Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat adalah perang memerangi nafsu amarah
bis-suu’[4]
dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang
sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian Ulama mengatakan :
"Mujahadah adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang
mengatakan: “Mujahadah adalah bersungguh-sungguh untuk menahan nafsu dari
kesenangannya”[5].
Hadits Nabi :
رَجَعْنَا
مِنَ الْجِهَادِ اْلأَصْغَرِ اِلَى الجِهَادِ اْلأَكْبَرِ , قَالُوْا يَارَسُوْلَ
اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَ كْبَرِ ؟ قَالَ : جِهَادُ النَّفْسِ )رواه البيهقى عن جابر فى
كتاب الزهد الكبير (الجزء 2، رقم 373) .
“Kita baru kembali dari perang kecil akan
menghadapi perang besar. Para Shahabat bertanya : YA Rosulalloh gerangan
apakah perang besar itu ? Rosululloh menjawab: “Perang melawan Nafsu”.
Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti
diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan
taqwa. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah
SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah
(menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang
diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang
memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut
mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan
nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa
menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya
melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisabur mengomentari tentang
mujahadah sebagai berikut:
“Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam
mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar
terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan
kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib
dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit
memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. “
Rasulullah SAW terkenal dengan Mujahadahnya yang
sangat luar biasa dalam hal beribadah, seperti dalam salat tahajudnya. Kaki
beliau sampai bengkak kerana terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau
Ummul Mukminin Aisyah r.a. bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti
itu, bukankah sudah diampuni seluruh dosamu yang lalu dan yang akan dating”.
Beliau menjawab, “salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang
senantiasa bersyukur) ?”.
Jadi, Mujahadah merupakan wujud
usaha untuk meningkatkan amal ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah.
f.
Mu’atabah (Mencela diri)
Tingkatan terakhir dalam pencapaian pendekatan diri
kepada Allah adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti memonitoring,
mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti
mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah harus disadari bahwa musuh
bebuyutan dan paling berbahaya adalah hawa nafsu yang terdapat dalam diri
manusia sendiri. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintah pada keburukan,
cendenrung pada kejahatan, lebih menyukai kemadharatan dan lari dari kebaikan.
Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai
paksaan untuk beribadah kepada Tuhannya, dan mencegahnya dari berbagai syahwat
dan menyapihnya dari berbagai kelezatan duniawi. Jika hal ini diabaikan, maka
akan meraja lela dan membahayakan terhadap manusia itu sendiri. Makadari itu
mu’atabah sangat diperlukan dalam proses pencapaian kedekatan diri kepada Allah
swt, karena dengan Mu’atabah manusia senantiasa mencela dan menegur dirinya
sendiri atau orang lain, sehingga ia tertunduk pada nafsu lawwamah (yang amat
menyesali dirinya). Hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk saling
mengingatkan, saling menasehati dalam hal kebaikan, akan tetapi disini perlu
muhasabah terlebih dahulu sebelum menasehati orang lain. Allah berfirman :
“Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz Zariyat 55).
Tahapan mu’atabah merupakan
evaluasi terhadap seluruh tahapan yang sudah dilaksanakan, apakah sudah sesuai
dengan ajaran Allah ataukah menyimpang. Evaluasi juga dilakukan terhadap hasil
pembinaan akhlak apakah terjadi peningkatan atau penurunan.
III.
PENUTUP
Dari penjelasan diatas, jelaslah upaya untuk dapat
mendekatkan diri kepada Allah harus ditekadkan secara kuat didalam hati, diniat
kan dengan bulat dan dalamnya juga perlu tahapan-tahapn serta dukungan dalam
melakukan kesemuanya itu. Penjelasan tersebut juga telah memberikan gambaran
yang konkrit kepada kita, tentang bagaimana cara kita untuk senantiasa berusaha
mendekatkan dan mengingat Allah swt. Sehingga dengan adanya deskripsi mengenai
jalan untuk memanaj akhlak, diharapkan memberikan gambaran yang positif dan
motivasi yang kuat kepada kita semua untuk lebih meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah swt dan terus berupaya untuk mewarnai dalam setiap
hembusan nafas kehidupan dengan akhlakul karimah. Aaamiin…
[5]Jami’ul-Ushul
Fil-Auliya oleh Asy-Syekh
Dhiyauddin Ahmad Mushtofa Al-Kamsyakhonawy An-Naqsyabandy.Penerbit :
Al-Haromain Singapura-Jedah-Indonesia
Rabu, 25 Mei 2011 Posted in | | 0 Comments »
Tidak bisa dipungkiri bahwasannya setiap Organisasi
mempunyai karakteristik dan visi yang berbeda antara satu Organisasi dengan
organisasi yang lain. Dan hal ini merupakan sesuatu yang dikedepankan serta
dibanggakan oleh masing-masing organisasi. Karena masing-masing dari mereka
bertekad kuat dan mempertahankan karakteristik yang mereka anggap sesuai. Hal
ini juga memicu banyak kontroversial dan perdebatan dikalangan mahasiswa
tertentu dan dalam ranah-ranah tertentu. Unsur mayoritas dan minoritas disini
sangat berpengaruh dan memberikan dampak dalam keharmonisan dari setiap
organisasi Islam yang ada di Kampus UIN Sunan Kalijaga.
Secara umum, organisasi Islam yang ada dikampus
berjalan sendiri-sendiri dan tidak mempengaruhi pergerakan satu dengan
pergerakan lainnya. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan tersebut tidak memacu
pecahnya ukhuwah diantara mahasiswa-masiswa UIN, terkhususnya yang tergabung
dalam salah satu organisasi ekstra kampus. Akan tetapi, sering kali perbedaan –
perbedaan yang ada diantara masyarakat kampus dijadikan sebagai objek
perpecahan, bukan untuk persatuan atau pembangunan. Alhasil, perang ideologi
dan tidak begitu penting, sering terjadi dan pembunuhan karakterpun kian marak
dilakukan. Sebagai contoh bagaiman hubungan antar organisasi Islam di UIN Suka
yang paling terasa dan puncaknya yaitu pada saat detik-detik menjelang pemilwa
yang dilaksanakan oleh Badan Pemilihan Mahasiswa Kampus UIN SUKA. Sebenarnya
Partai dan Organisasi Eksternal kampus tidak ada hubungannya sama sekali,
mereka berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, biasanya setiap partai itu di
dekengi oleh satu gerakan organisasi yang orang-orangnya terikat dan tergabung
dalam suatu partai tertentu yang ada dikampus.
Pemilwa sering dijadikan ajang untuk memperlihatkan
dan menunjukkan eksistensi dari setiap organisasi. Hal itu pada hakikatnya
adalah baik, karena akan memberi cambuk kepada para mahasiswa yang tergabung
dalam organisasi ini untuk lebih kreatif dalam menawarkan partai mereka untuk
diterima oleh mahasiswa. Akan tetapi, di Kampus UIN sendiri, berbeda dengan
kampus-kampus negeri yang ada di Yogyakarta. Tingkat kesadaran politik yang ada
di UIN dinilai masih sangat kurang, akibatnya banyak kecurangan-kecurangan
politik dengan melakukan politik secara kotor, hanya dengan kemenangan semata
dan kepentingan-kepentingan suatu kelompok saja, tanpa berfikir untuk bisa
membangun kampus supaya lebih baik. Dan akibat dari itu, hubungan-hubungan
organisasi Islam di UIN Suka tersendiri menjadi memanas. Tak ayal perang
ideologi, pembunuhan karakter, dan perdebatan sengit anatara sesama mahasiswa
organisator sering terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sebagai bahan perbandingan saja, di Kampus negeri yang
lain seperti di UGM dan UNY, persaingan antara organisasi-organisasi ekstra
yang ada di kampus mereka tetap ada, akan tetapi persaingan yang mereka lakukan
itu fair dan sehat. Menjadikan perpolitikan di kampus tersebut dapat memberikan
gambaran positif mengenai konteks sosial dimasyarakat kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar